Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang
iklim dalam tempoh masa dari berdekad ke berjuta tahun. Terdapat bukti baru dan kuat bahawa pemanasan iklim selama 50 tahun lepas disebabkan kegiatan manusia. Ketulan ais yang diambil dari ais purba
Antartika menunjukkan tahap
karbon dioksida yang tinggi dari 650,000 tahun dahulu. Lebih banyak karbon dioksida di atmosfera bermakna suhu yang semakin panas. Dalam laporan 2007
Panel Antara Kerajaan tentang Perubahan Cuaca (IPCC) kepada
Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB), badan itu menyimpulkan lebih daripada 90 peratus penyebab pemanasan sejak 50-60 tahun adalah disumbangkan oleh manusia.
Sumbangan manusia ini termasuk peningkatan tahap gas yang memerangkap
haba (gas
rumah hijau) seperti karbon dioksida di atmosfera bumi. Satu cara manusia menyumbang kepada gas rumah hijau adalah dengan membakar bahan api. Contohnya penggunaan arang batu, minyak dan gas asli untuk menghasilkan elektrik, memanaskan rumah, memberi kuasa kepada kilang dan kereta.
Perubahan corak penggunaan tanah menyumbang juga. Pokok dan tumbuhan menggunakan karbon dioksida dan melepaskan
oksigen. Apabila pokok dipotong untuk pembangunan, pertanian dan tujuan lain, ia tidak lagi boleh menggunakan karbon dioksida dan melepaskan oksigen. Pokok-pokok ini sebenarnya melepaskan karbon dioksida apabila ia mereput dan dibakar.
Dengan meningkatnya karbon dioksida dan gas rumah hijau lain meningkat, lebih banyak haba terperangkap dan suhu dunia pun naik. Ini menyebabkan perubahan ketara dalam panjang dan pendek musim.
Pemanasan global
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemanasan global atau
Global Warming adalah adanya proses peningkatan
suhu rata-rata
atmosfer,
laut, dan daratan
Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °
C (1.33 ± 0.32 °
F) selama seratus tahun terakhir.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"
[1] melalui
efek rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Sebagian besar energi matahari berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk
cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi
infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah
gas rumah kaca antara lain
uap air,
karbon dioksida,
sulfur dioksida dan
metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan
bumi terus meningkat.
Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya.
awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan.
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (
albedo) oleh es. Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO
2 dan CH
4 dari melunaknya tanah beku
(permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH
4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan
diatom daripada
fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.
[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan
stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,
[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan
lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.
Dampak pemanasan global
· Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (
Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada
musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan.
Para ilmuan belum begitu yakin apakah
kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena
uap air merupakan
gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek
insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar,
dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat
siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)
[22].
Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (
hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
· Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar
Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah
Belanda, 17,5 persen daerah
Bangladesh, dan banyak pulau-pulau.
Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di
Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari
Florida Everglades.
· Suhu global cenderung meningkat
· Gangguan ekologis
· Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (
heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan
malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian
dimana sering muncul penyakit, seperti:
diare,
malnutrisi,
defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (
Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui
vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian
Demam Berdarah karena munculnya ruang (
ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi
kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti
asma,
alergi,
coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
La Nina dan El Nino
El Niño–Southern Oscillation adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan
Samudra Pasifik di pantai Barat
Ekuador dan
Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Gejala ini lebih umum dikenal di kalangan awam dengan nama
El Niño (
bahasa Spanyol, dibaca: "El Ninyo" yang berarti "anak laki-laki kecil"). Gejala penyimpangan di tempat yang sama tetapi berupa penurunan suhu dikenal sebagai
La Niña (dibaca "La Ninya"). Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang kadang-kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara
pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah
Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat memengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun.
Nama El Niño diambil dari
bahasa Spanyol yang berarti “anak laki-laki”, merujuk pada bayi
Yesus Kristus dan digunakan karena arus ini biasanya muncul selama musim
Natal; sedangkan La Niña berarti "gadis kecil". Karena fluktuasi dari tekanan udara dan pola angin di Selatan Pasifik yang menyertai El Niño, fenomena ini dikenal dengan nama
El Niño–Southern Oscillation (ENSO). Gejala El Niño tidak selalu diikuti dengan Southern Oscillation, dan tanpa kombinasi keduanya efek global tidak terjadi.
El nino terjadi karena pemanasan di ekuator samudra pasifik dan pemanasan global juga menjadi salah satu unsurnya.
Selain memberikan kerugian, el nino juga memberikan keuntungan pada
Indonesia. Contohnya, ikan tuna di Pasifik bergerak ketimur. Namun, ikan yang berada di Samudera Hindia bergerak masuk ke selatan
Indonesia. Hal itu karena perairan di timur samudera ini mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan Jawa menghangat. Hal ini membuat
indonesia mendapat banyak ikan tuna.
Gilbart Walker yang mengemukaan tentang El Nino dan sekarang dikenal dengan Sirkulasi
Walker yaitu sirkulasi angin Timur-Barat di atas Perairan Pasifik Tropis. Sirkulasi ini timbul karena perbedaan temperatur di atas perairan yang luas pada daerah tersebut.
A.)Perairan sepanjang pantai
China dan Jepang, atau Carolina Utara dan
Virginia, lebih hangat dibandingkan dengan perairan sepanjang pantai
Portugal dan
California. Sedangkan perairan disekitar wilayah
Indonesia lebih banyak dari pada perairan disekitar
Peru,
Chile dan Ekuador.
B.) Perbedaan temperatur lautan di arah Timur – Barat ini menyebabkan perbedaan tekanan udara permukaan di antara tempat – tempat tersebut.
C.) Udara bergerak naik di wilayah lautan yang lebih hangat dan bergerak turun di wilayah lautan yang lebih dingin. Dan itu menyebabkan aliran udara di lapisan permukaan bergerak dari Timurk-Barat.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca global
1.Angin pasat timuran melemah
2.Sirkulasi Monsoon melemah
3.Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan amerika
Selatan bagian Utara. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.
4.Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah
Argentina. Cuaca cenderung hangat dan lembab.
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca
Indonesia
Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah
Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi geografis
Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di
Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya.
La Nina merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina menurut bahasa penduduk lokal berarti bayi perempuan. Peristiwa itu dimulai ketika El Nino mulai melemah, dan air laut yang panas di pantai
Peru – ekuador kembali bergerak ke arah barat, air laut di tempat itu suhunya kembali seperti semula (dingin), dan upwelling muncul kembali, atau kondisi cuaca menjadi normal kembali. Dengan kata lain, La Nina adalah kondisi cuaca yang normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino.
Perjalanan air laut yang panas ke arah barat tersebut akhirnya akan sampai ke wilayah
Indonesia. Akibatnya, wilayah
Indonesia akan berubah menjadi daerah bertekanan rendah (minimum) dan semua angin di sekitar Pasifik Selatan dan Samudra Hindia akan bergerak menuju
Indonesia. Angin tersebut banyak membawa uap air sehingga sering terjadi hujan lebat. Penduduk
Indonesia diminta untuk waspada jika terjadi
La Nina karena mungkin bisa terjadi banjir. Sejak kemerdekaan di Indonesia, telah terjadi 8 kali La Nina, yaitu tahun 1950, 1955, 1970, 1973, 1975, 1988, 1995 dan 1999.
Ketika La Nina kolam panas (bagian laut yang suhunya tinggi) bergerak masuk ke arah Indonesia bagian timur dan demikian juga anginya berhembus lebih kuat ke arah Indonesia sehingga laut di Indonesia timur meningkat suhunya, hal ini diikuti dengan penguapan yang lebih banyak dan terjadi konveksi kuat yang membentuk awan hujan (kumulus), sehingga daerah Indonesia khususnya bagian timur akan curah hujanya di atas normal.
Sebaliknya ketika El Nino kolam panasnya bergerak menjauhi
Indonesia sehingga yang banyak hujan ialah di laut Pasifik, sedangkan daerah
Indonesia, khususnya bagian timur curah hujanya berkurang.
Indonesia mengalami kekeringan. Proses El Nino dan La Nina ini dapat diperlihatkan ada hubunganya dengan aktivitas matahari dan sinar kosmik.
Fenomena La Nina ditandai dengan menurunnya SPL (suhu permukaan laut) di zona Nino 3.4 (anomali negatif) sehingga sering juga disebut sebagai fase dingin. Karena sifatnya yang dingin ini, kedatangannya juga dapat menimbulkan petaka di berbagai kawasan khatulistiwa, termasuk Indonesia. Curah hujan berlebihan yang menyertai kedatangan La Nina dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi, dua “lakon” di panggung Samudera Pasifik ini sama-sama menakutkan. Yang satu menyebar petaka kekeringan, sementara yang lain memberi ancaman banjir.
Inilah perbedaan kondisi saat La Nina dan saat kondisi Normal
1. Kondisi La Nina
Pada tahun La Nina jumlah air laut bertemperatur rendah yang mengalir di sepanjang Pantai Selatan Amerika dan Pasifik Timur meningkat. Wilayah Pasifik Timur dan Tengah menjadi lebih dingin dari Pasifik Barat.
Ketika terjadi La Nina :
- Angin passat Timuran menguat, sehingga massa udara dingin meluas hingga Samudera Pasifik bagian tengah dan Timur.
- Ini menyebabkan perubahan pola cuaca. Daerah potensi hujan meliputi wilayah Perairan Barat.
2. Kondisi Normal
Kondisi Suhu Muka Laut pada Kondisi
Normal
Pada tahun-tahun normal, Suhu Muka Laut (SST) di sebelah Utara dan Timur Laut Australia ≥28°C sedangkan SST di Samudra Pasifik sekitar Amerika Selatan ±20°C (SST di Pasifik Barat 8° – 10°C lebih hangat dibandingkan dengan Pasifik Timur).
- Angin di wilayah Samudra Pasifik Ekuatorial (Angin passat Timuran) dan air laut di bawahnya mengalir dari Timur ke Barat. Arah aliran timuran air ini sedikit berbelok ke Utara pada Bumi Belahan Utara dan ke Selatan pada Bumi Belahan Selatan.
- Daerah yang berpotensi tumbuh awan-awan hujan adalah di Samudra Pasifik Barat, wilayah Indonesia dan Australia Utara.
Dampak positif
Saat La Nina suhu muka laut di barat Samudera Pasifik hingga
Indonesia menghangat. Kondisi ini mendorong ikan tuna dari Pasifik
timur yang dingin bergerak masuk ke kawasan timur
Indonesia.
Seperti dikemukakan Dwi Susanto, pakar cuaca BPPT, belum lama
ini, perairan barat Pasifik selama ini diketahui merupakan kawasan
yang memiliki kelimpahan ikan tuna tertinggi, mencapai 70 persen
stok ikan tuna dunia.
Sebaliknya, ketika terjadi El Nino, ikan tuna di Pasifik bergerak ke
timur. Namun, ikan yang berada di Samudera Hindia bergerak masuk
ke selatan
Indonesia. Hal itu karena perairan di timur samudera ini
mendingin, sedangkan yang berada di barat Sumatera dan selatan
Jawa menghangat.